Rahim Pengganti

Bab 70 "Sejak Kapan"



Bab 70 "Sejak Kapan"

0Bab 70     

Sejak Kapan     

Keduanya segera pulang, karena hari semakin larut. Kasihan Melody yang sudah tertidur dalam dekapan sang Bunda. Sepanjang perjalanan, tidak henti hentinya Carissa menceritakan semuanya. Bahkan terlihat sangat bahagia sekali wanita itu saat ini, melihat hal itu membuat Bian tersenyum bahagia.     

Namun, Bian sedikit bingung kenapa istrinya itu bisa mengingat semuanya. Saat lampu merah menyala, Bian menatap ke Carissa.     

"Kenapa Mas?" tanya Carissa.     

"Sejak kapan?"     

Cariss terdiam, wanita itu tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.     

"Maksud kamu apa Mas?" tanya Caca.     

"Sejak kapan kamu mengingat semua," ujarnya. Carissa terdiam, ia lupa belum memberitahukan semuanya kepada sang suami. Cacac mengigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab seperti apa.     

"Jangan digigit, nanti hak seksi lagi," ujar Bian sembari mengidepkan matanya. Carissa menatap takjub ke arah suaminya, sungguh Bian benar benar luar biasa dengan tingkahnya yang begitu aneh.     

Mobil yang dikendarai oleh Bian pun mulai berjalan, karena lampu sudah berganti dengan warna hijau. Caca masih merangkai kata, untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh suaminya itu. Jujur saja, Caca bingung dengan apa yang akan terjadi dirinya bukan takut tapi tidak tahu harus bersikap seperti apa.     

Tak lama mereka berdua sudah sampai di rumah. Terlihat Nizam dan Siska juga baru saja keluar dari dalam rumah, melihat hal itu membuat Bian berdecak kesal.     

"Kenapa sih Mas? Setiap kamu lihat Nizam sama Siska kamu seperti gak suka?" tanya Carissa. Bian menoleh ke arah istrinya itu. Apa yang diucapkan oleh Caca, memang benar dirinya tidak suka dengan kedekatan Siska dan Nizam. Pria itu tidak menyukai hal itu, baginya Nizam tidak pantas untuk adiknya.     

"Mas cuma gak mau Siska mendapatkan seseorang yang tidak tepat Sayang," ucapnya dengan nada rendah. Caca mengerti dengan apa yang terjadi, sebagai seorang Kakak yang menjadi ayah untuk adik kecil pasti akan bersikap seperti itu.     

"Tapi kalau aku lihat, Nizam bukan orang yang seperti Mas. Dia anaknya baik, semoga aja gak seperti yang kamu pikirkan," jawab Carissa.     

"Ntahlah sayang."     

"Kamu boleh curiga. Kamu boleh khawatir tapi jangan membuat hubungan Siska dan Nizam retak. Kita sebagai orang dewasa, harus bisa bersikap baik dalam segalanya Mas. Kamu tahu, kan maksud aku kita hanya mengawasi saja Mas bagaimana kedepannya mereka, kalau ada yang buruk baru kita sebagai orang yang lebih berpengalaman menengahi mereka," ujar Carissa. Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh istrinya itu membuat Bian sedikit tenang, pria itu tersenyum dan mengambil tangan Caca dikecupnya dengan mesra.     

Setelah itu, mereka berdua segera turun dari mobil. Siska yang melihat abangnya turun segera menghampiri mereka.     

"Mel Mel tidur mbak?" tanyanya pada Carissa. Caca hanya menganggukkan kepalanya, sembari tersenyum kepada mereka berdua. Sedangkan Bian hanya menatap datar, tidak ada sedikit kata pun terlontar dari mulut mereka.     

"Kami masuk duluan ya, ayo Mas!!" ajak Caca. Bian hanya diam dan mengikuti istrinya. Pria itu hanya menatap datar, ke arah Nizam tidak ada sedikit kata pun yang terucap. Siska hanya, mendengus kesal abangnya selalu seperti itu bersikap seolah dingin.     

"Sepertinya Mas Bian gak suka aku main ke sini," ujar Nizam. Mendengar hal itu membuat, Siska menoleh ke arah pria itu. Ada perasaan tidak enak menyelimuti hati Siska, wanita itu menjadi tidak nyaman dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Nizam.     

"Mas Bian emang gitu. Tapi orangnya baik," jawab Siska.     

"Ha ha, kamu kenapa tegang seperti ini. Santai aja, aku akan berjuang menaklukkan semuanya. Terutama kamu juga," ucap Nizam. Mendengar hal itu semakin membuat Siska tidak tahu harus berkata seperti apa. Wanita itu masih belum bisa menerima Nizam, sudah terlalu sering Nizam mengatakan hal itu namun, hingga saat ini Siska belum juga menganggapi ucapan tersebut.     

Nizam pun melangkah kan kakinya menuju mobil, pria itu segera meninggalkan rumah Siska. Helaan napas berat terdengar jelas, Siska hanya menatap datar ke arah mobil yang sudah pergi menjauh.     

"Jangan siksa diri kamu sendiri kalau kamu tidak ingin. Jangan berikan harapan, kalau kamu tidak bisa menerimanya."     

Siska menoleh ke arah belakang, di sana ternyata sudah ada Bian. Pria itu berdiri sembari menyenderkan punggungnya ke pintu. Melihat hal itu membuat Siska menelan ludah susah.     

"Mas tahu sampai detik ini yang ada di hati kamu itu, hanya ada pria brengsek itu. Jadi kalau sampai sekarang, kamu masih belum bisa melupakan dia mending jangan pernah memberikan harapan untuk orang lain. Karena harapan itu, bisa membuat pria baik jadi pria jahat."     

Siska terdiam, wanita itu tidak bisa membatah lagi. Apa yang diucapkan oleh Bian memang benar adanya. Sampai detik ini, bayangan masa lalu itu masih tersirat dengan jelas di benaknya.     

"Kenapa diam? Biasanya kamu akan marah dengan Mas, kalau Mas menyebut pria itu dengan sebutan brengsek," ledek Bian. Siska memutar matanya malas, gadis itu malas dengan sikap Bian yang mengjengkelkan saat ini.     

"Mas ih, rese banget tahu gak."     

Bian mendekat, mengajak adiknya itu untuk duduk di kursi teras. Siska pun mengikuti kemana arah sang Abang mengajaknya.     

"Duduk," pintah Bian. Siska menganggukkan kepalanya, lalu keduanya hanya diam hembusan angin malam membuat kulit kedua merasakan dingin.     

"Sampai kapan?" tanya Bian.     

"Maksud Mas Bian apa? Dari tadi ngomongnya gak jelas banget," jawab Siska berusaha untuk tidak terpancing dengan ledekan yang diberikan oleh abangnya itu. Bian tersenyum tipis, adiknya itu selalu bisa menutupi apa yang dirasakan.     

"Gak usah sok gak ngerti dengan apa yang Mas maksud. Kamu udah terlalu dewasa untuk tahu, hal tersebut."     

Siska terdiam, keduanya memang sangat jarang bicara seperti saat ini namun, jika Bian sudah mengajaknya berbicara bisa dipastikan bahwa abangnya itu serius.     

"Entahlah Mas. Aku udah benci sangat benci dengannya. Dia menikah dengan orang lain, disaat hubungan kami berjalan. Rasa sakit itu sangat dalam Mas, hingga rasanya sangat sesak," jawab Siska. Air matanya kembali menetes, mengingat hal itu membuat Siska tidak bisa berbuat apa pun. Melupakan, ya sangat mudah untuk diucapkan tapi prateknya sangat sulit.     

Banyak kenangan yang keduanya ukir, namun apa kenangan hanya menjadi kenangan, dan hal itu benar benar membuat Siska tidk sanggup.     

"Menangis lah, tapi setelah ini. Mas gak mau melihat kamu menangisi pria itu lagi, sudah terlalu banyak air mata yang kamu tumpahkan hanya untuknya."     

Bian mengusap bahu Siska membiarkan adiknya itu menumpahkan semuanya. Bian mengerti bagaimana rasanya dikhianati, dan dirinya juga sama merasakan hal tersebut bahkan lebih parah dengan apa yang dirasakan oleh Siska.     

Cukup lama keduanya di sana, Bian tidak mau menghakimi adiknya untuk melupakan, karena sejujurnya dirinya saja masih belum bisa melakukan hal itu. Bian hanya memberikan dukungan, memberitahu apa yang baik dan tidak kepada Siska. Biarkan adiknya itu mengambil sebuah keputusan bagaimana dan seperti apa kedepannya.     

###     

Aduh!! Bian mah, kadang bikin kesal kadang bikin gemes. Selamat membaca ya, semoga tetap suka. Sehat terus buat kita semua. Love you guys.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.